Uncategorized

10 Kesalahan Menulis Skripsi/Tesis dan Tips Perbaikannya

Mahasiswa itu kentara sekali terlihat tegang. Dia menarik nafas lalu dihembuskan. Dia menunduk lalu komat-kamit, entah membaca doa atau melafalkan opening sidang skripsi. Tak lama sidang skripsipun dimulai. Saya, sebagai penguji, melihat dia memang agak gugup saat presentasi, tapi laporannya cukup baik. Setidaknya lebih baik dari sebagian laporan skripsi/karya akhir yang saya baca sebelumnya.

Selama 1.5 bulan terakhir, saya terlibat di beberapa sidang sebagai pembimbing tapi lebih sering sebagai penguji di tingkat sarjana maupun master. Sebelum sidang, saya selalu menyempatkan membaca laporan yang akan diujikan. Topiknya bermacam-macam. Kualitasnya pun beragam. Di satu pembimbing yang sama, topik mirip atau metodologi sama, tapi kualitasnya bisa jauh berbeda. Dari membaca sekian banyak laporan skripsi/karya akhir mahasiswa, ada masalah-masalah umum yang sering muncul:

  • Urgensi masalah tidak terlihat. Laporan ilmiah perlu memuat justifikasi/argumen kenapa perlu melakukan riset ini secara eksplisit. Apakah ada masalah di dunia nyata yang perlu diselesaikan? Apakah ada gap di literatur yang worthy utk diteliti?
  • Argumen pemilihan komponen disain riset tidak ada atau minimal sekali. Laporan langsung menyajikan pendekatan kuantitatif/kualitatif, metode pengumpulan dan analisis data, tanpa argumen kenapa itu dipilih, tanpa perbandingan dengan alternatif lain. Tanpa itu, skripsi atau tesis hanya akan menjadi laporan pelaksanaan kegiatan, bukan tulisan ilmiah. Maka perlu diberikan argumen pemilihan komponen di disain riset, seperti apa kelebihan kuantitatif dibanding kualitatif untuk konteks penelitian ini. Contoh: kenapa pilih scrum? Coba bandingkan dengan metodologi pengembangan software lain.
  • Pada pelaksanaan survei, data demografi dikumpulkan hanya karena “mumpung” sekalian, tapi tidak digunakan lebih lanjut. Apakah bisa digunakan (minimal) untuk interpretasi hasil pengujian hipotesis?
  • Pemilihan teori / model tanpa argumen yang cukup atau perbandingan dengan teori lain. Seolah-olah hanya menemukan teori/model itu dan langsung pakai. Sebaiknya berikan perbandingan dengan model/teori lain.
  • implikasi teoretis dan praktikal tidak ada/tidak terlihat. Implikasi teoretis bisa berupa pembuatan/perbaikan model/algoritma baru, kontekstualisasi teori, metodologi baru dll. Implikasi praktikal bisa dilihat dari pihak-pihak yang bisa mendapatkan manfaat dari hasil penelitian.
  • Kurangnya kontekstualisasi. Apakah ada pengaruh konteks, seperti dilakukan di Indonesia/industri tekstil, terhadap pemilihan faktor/pembuatan model/interpretasi hasil?
  • Visualisasi. Kalau bisa pakai gambar/grafik/diagram, jangan malu-malu. Juga pilih jenis yang cocok, seperti visualisasi proporsi market share adopsi e-marketplace coba gunakan pie chart, jangan tabel, biar keliatan pembagian ‘kuenya’.
  • kurangnya referensi. Berbagai klaim di laporan harus ada referensinya.
  • Tidak adanya keterbatasan penelitian. Tidak ada penelitian yang sempurna. Merupakan sebuah nilai plus, kalau peneliti sadar akan keterbatasan risetnya sehingga bisa memberikan saran untuk penelitian selanjutnya.
  • Laporan yang masih banyak kesalahan-kesalahan penulisan atau formatting. DUH. Saya mengerti riset itu melelahkan, baca paper itu berat, ngumpulin data bikin makan hati, interpretasi data menimbulkan pertanyaan pilihan hidup. Tapi kalau setelah melalui semua itu, penulisannya berantakan, kan sayang. Ada berbagai kesalahan penulisan seperti “limiah”, “kauntitaif”, “kulittatif”; daftar isi masih ada errornya; tanda baca, spasi, formating yang masih salah; bahkan masih ada komentar dari pembimbing!! Semua itu membuat pembaca jadi meragukan kredibilitas penulis. Laporan yang rapi, bebas typo, akan memberikan kesan yang baik, terutama bagi penguji.

Sama seperti berbicara, saya ikut pendapat kalau laporan tertulis itu bersifat “writer responsible” bahwa tugas penulislah membuat laporan itu bisa dimengerti pembaca. Bila pembaca masih bingung, itu bukan berarti penulis lebih pintar dari pembaca, tapi justru kemampuan menulis dan menyajikan laporan si penulislah yang perlu diasah lagi. Caranya gimana? Konsisten menulis dan mulai seawal mungkin. Semoga bermanfaat.

Batman aja sidang skripsi, kamu kapan? (sumber: https://www.liputan6.com/citizen6/read/2662535/uniknya-para-superhero-saat-sidang-skripsi)
Uncategorized

Perempuan Studi ke Luar Negeri, Bagaimana dengan Keluarga?

Sebagai seorang wanita yang sudah menikah dan punya anak, salah satu pertanyaan paling sering yang diajukan kepada saya terkait sekolah ke luar negeri (LN) adalah “apakah keluarga ikut?”, “Bagaimana dengan pekerjaan suami dan pengasuhan anak-anak?” Maka, pada tulisan kali ini, saya akan merangkum beberapa alternatif setting keluarga yang bisa diambil oleh para wanita berkeluarga yang ingin sekolah di LN. Opsi-opsi ini berdasarkan pengalaman pribadi maupun observasi. Dalam memilih opsi mana yang akan diambil, ada dua hal yang patut diperhatikan: pekerjaan suami dan pengasuhan anak-anak.

Alternatif pertama: suami dan anak-anak ikut ke negara tujuan

A. Mengenai pekerjaan suami:

  1. Mempertahankan pekerjaan yang sama seperti di Indonesia sehingga bisa tetap bekerja di tempat semula saat kembali ke tanah air.
    Beberapa pendekatan yang dilakukan adalah: (1) suami mengambil cuti panjang, (2) suami punya bisnis yang bisa dikerjakan dari LN, (3) pekerjaan suami bisa dilakukan lewat internet. Terkait alternatif ketiga, ada suami yang bekerja sebagai freelance engineer yang berkantor di Eropa dan Amerika Utara. Ada juga suami yang jadi youtuber. Apalagi pada masa dan setelah pandemi, tren bekerja lewat internet yang tidak terikat tempat bisa jadi keuntungan bagi para suami yang ingin mendampingi pasangan di luar negeri. Terakhir, (4) sang wanita mencari peluang sekolah di negara tempat suaminya bekerja. Jadi ini suaminya dulu yang dapat pekerjaan di LN, kemudian sang istri menyesuaikan lokasi studi, seperti seorang kenalan saya yang suaminya bekerja di konsulat jenderal Indonesia di Melbourne, lalu beliau mencari peluang sekolah di sana.
  2. Mencari pekerjaan baru di negara tujuan
    Di Australia, pekerjaan kantoran yang sesuai dengan kualifikasi pendidikan para suami biasanya membutuhkan pengalaman lokal atau hanya berlaku untuk permanent resident atau warga negara Australia. Oleh karena itu, kalau di Melbourne, kebanyakan para suami maupun istri dari student bekerja sebagai di luar kualifikasinya. Ada dokter yang menjaga toko di Queen Victoria Market, karyawan swasta yang jadi cleaning service, dosen yang jadi pengantar makanan, engineer yang jadi pengantar bunga dan loper koran, owner bisnis yang jadi supir travel, dan lain-lain. Di samping itu, ada juga yang menawarkan jasa pada website seperti airtasker.
  3. Berhenti kerja untuk sementara.
    Ada juga yang benar-benar berhenti bekerja untuk sementara untuk fokus mengurus anak-anak dan menikmati waktu mengeksplorasi negara setempat.
Queen Victoria Market di Melbourne
Sumber: https://www.timeout.com/melbourne/news/how-to-do-queen-victoria-market-like-a-pro-102020
Sumber: Airtasker.com

B. Pengasuhan anak.

Bila suami bekerja, maka anak-anak perlu ada yang menjaga, baik itu sekolah atau daycare. Di Australia, daycare muahalnya minta ampun, rata-rata AU$100 per hari, paling murah AU$80 per hari. Kalau mendapat beasiswa dari Pemerintah Australia seperti Australia Award Scholarship maka juga mendapat tunjangan daycare sehingga lebih terjangkau untuk menitipkan anak di daycare saat istri studi dan suami bekerja. Mahasiswa yang sumber dananya selain itu, harus membayar penuh biaya daycare.

Di samping itu, untuk sekolah anak, student yang fokus di riset (PhD atau Master by research) mendapat pengurangan biaya pendidikan anak di sekolah negeri. Tidak demikian halnya, bagi student master coursework yang harus membayar penuh biaya pendidikan yang besarnya ribuan dollar per semester.

Salah Satu Sekolah Negeri di Melbourne (sumber: dokumen pribadi)

Alternatif ke 2: Keluarga tidak (semua) ikut ke negara tujuan

a. Suami tidak ikut sementara anak-anak ikut.
Pada setting seperti ini, suami bisa secara periodik mengunjungi keluarga di negara tujuan. Ada baiknya memilih negara tujuan yang memudahkan dari segi visa dan biaya. Untuk visa Australia, keluarga bisa dapat visa sampai tiga tahun sehingga memudahkan keluarga untuk sering berkunjung. Kalau memilih negara tujuan yang menggratiskan pemilik visa hijau berkunjung seperti negara-negara ASEAN, lebih mudah lagi.

Juga perhatikan soal biaya. Biaya ke Singapura tentu lebih murah dari biaya ke Australia.

b. suami dan anak-anak tidak ikut.

Ibu bisa pulang sesering yang dimungkinkan.

c. Suami ikut dan anak-anak (ada) yang tidak ikut

Suami ikut untuk menemani istri studi dan bisa juga sambil bekerja, sementara anak diasuh oleh keluarga di Indonesia. Pendekatan ini kadang dipilih oleh mahasiswa master coursework karena durasi studi yang cukup singkat (1.5-2 tahun) dibandingkan PhD ( 3-5 tahun). Juga karena biaya sekolah anak di negara tujuan yang cukup mahal dibanding Indonesia. Bisa juga karena pertimbangan budaya dan nilai-nilai lingkungan yang tidak cocok dengan visi keluarga seperti pergaulan bebas, obat-obatan terlarang yang dilegalkan di negara tujuan dan lain-lain.

Pada setting seperti ini, anak bisa berkunjung ke negara tujuan dan tinggal dalam durasi singkat, maupun sebaliknya, keluarga yang pulang ke Indonesia.

Demikian ulasan singkat mengenai berbagai pendekatan yang bisa diambil wanita berkeluarga yang ingin studi ke LN. Sebagian opsi ini berdasarkan kondisi di Australia/Melbourne, hal ini mungkin berbeda di negara/kota lain. Bila ada opsi lain yang belum tercakup, silakan tulis di kolom komentar. Intinya, saat memilih negara tujuan, perhatikan kemungkinan bekerja bagi suami dan kemudahan pendidikan anak. Semoga bermanfaat.

Uncategorized

Definisi, Jenis, dan Gejala Gangguan jiwa

Pada tanggal 14-15 Februari 2019, saya mengikuti workshop pertolongan pertama pada kesehatan jiwa / mental health first aid. Workshop ini ditujukan bagi staf dan mahasiswa untuk mengidentifikasi mahasiswa yang mengalami masalah kejiwaan dan memberikan pertolongan pertama. Mengingat sekitar 40% dari mahasiswa University of Melbourne adalah mahasiswa internasional yang mungkin mengalami perbedaan budaya dan kebiasaan serta rentan terhadap isolasi sosial, di samping tuntutan akademis yang tinggi. Hal-hal ini mendorong kampus untuk lebih memberikan dukungan bagi semua mahasiswanya untuk mengenali tanda-tanda gangguan mental dan memberikan dukungan yang tepat.

Workshop ini dipandu oleh dua orang psikolog yang punya segudang pengalaman mendampingi pasien dengan gangguan mental. Seperti umumnya workshop atau training di kampus, pemaparan materia didukung oleh statistik dan riset terkait. Acaranya pun berjalan interaktif dimana peserta selalu ditanyai pendapatnya. Selain teori, juga ada simulasi dimana trainer berperan sebagai pasien dengan gangguan mental dan peserta memberikan pertolongan pertama. Setelah workshop, peserta bisa mengikuti tes untuk mendapatkan sertifikasi sebagai accredited mental health first aider.

mental 2.jpg

Definisi

Kesehatan mental adalah suatu kondisi dimana individu menyadari kemampuannya sendiri, bisa menangani tekanan normal dalam hidupnya, bisa bekerja dengan produktif dan menghasilkan, dan bisa memberikan kontribusi pada komunitasnya [1]. Kesehatan mental seperti kontinum, dengan satu ujung merupakan kesehatan mental yang prima, sementara ujung satunya adalah penyakit jiwa. Kesehatan jiwa setiap orang bervariasi sepanjang kontinum selama hidupnya. Gangguan jiwa seringkali dimulai saat memasuki masa remaja dan bisa berdampak buruk pada pendidikan, pekerjaan, kemampuan menjalin hubungan sosial, dan kemampuan membentuk kebiasaan baik. Dalam jangka panjang, ini bisa berakibat pada disability/cacat, yaitu terganggunya fungsi seseorang untuk bekerja, mengurus diri sendiri, dan menjalin hubungan. Jenis gangguan jiwa ada macam-macam seperti: depresi, kecemasan (anxiety), skizofrenia, bipolar, eating disorder, penyalahgunaan obat dll. Yang paling umum adalah kecemasan dan depresi.

Pertolongan pertama pada gangguan jiwa bertujuan untuk mengenali gejala gangguan jiwa, memberikan dukungan, dan rekomendasi layanan professional. Kenapa perlu memberikan pertolongan pertama pada orang yang mengalami gangguan mental?

  1. Gangguan jiwa diderita oleh banyak orang.

Di Indonesia, pada tahun 2013, prevalensi ganggunan mental emosional penduduk berumur 15 tahun ke atas adalah 14 juta jiwa. Sementara penyakit jiwa berat menjangkiti 400.000 orang [2]. Di Australia sendiri, satu dari lima orang berusia 16-85 tahun mengalami gangguan jiwa [3].

  1. Stigma negatif dan diskriminasi terhadap penderita gangguan mental

Banyak orang yang mengalami gangguan, tapi takut untuk mengakses layanan professional diantaranya karena anggapan masyarakat mengenai penyakit jiwa. Tidak jarang orang yang mengalami gangguan jiwa bukannya didukung dan diobati tapi malah dikucilkan bahkan dipasung atau dirantai. Lebih mengenaskan, pasien jiwa di RS diperlakukan seperti binatang.

mental 3

  1. Banyak penderita yang enggan mengakses layanan professional atau menundanya

Di Australia, hanya 35% dari penderita gangguan jiwa yang mencari bantuan professional. Padahal semakin lama ditunda, semakin sulit penyembuhannya.

     4. Penderita gangguan jiwa mungkin tidak menyadari bahwa dia memiliki gangguan             jiwa

Penderita mungkin merasakan bahwa dia tidak membutuhkan bantuan karena dia merasa baik-baik saja, terlebih pada penderita bipolar. Pada kondisi ini, orang terdekat sebaiknya memfasilitasi bantuan.

     5. Bantuan professional tidak selalu tersedia

Di lokasi yang jauh dari pusat kota atau di waktu-waktu tertentu, psikolog atau psikiater mungkin tidak ada. Saat inilah penting bagi first aider untuk memberikan pertolongan pertama sampai penderita bisa mendapat pertolongan professional.

6. Bantuan pertama pada gangguan jiwa sudah terbukti efektif.

Riset telah membuktikan bahwa memberikan pertolongan pertama efektif untuk membantu penyembuhan.

Gejala

Berikut adalah beberapa gejala gangguan mental yang perlu diwaspadai:

– Perubahan mood yang signifikan, termasuk mood negatif yang menetap atau mood sering berubah-ubah.

– Perubahan perilaku yang signifikan, misalnya yang tadinya pintar tapi belakangan nilai-nilainya selalu buruk.

– Rasa cemas dan takut yang nyata.

– Kehilangan minat pada teman, objek, dan aktivitas yang semula ia sukai.

– Sulit konsentrasi.

– Tidak mau merawat diri (menjaga kebersihan diri).

– Sulit berteman.

– Gangguan fisik seperti sakit kepala, sakit perut, perubahan nafsu makan, dan berat badan mendadak turun atau naik.

– Perilaku melukai diri.

– Penggunaan bahan-bahan yang berbahaya seperti narkoba atau rokok.

Waspadai jika perilaku dan gejala tersebut menetap lebih dari seminggu atau pun mengganggu fungsi keseharian penderita.

Saat ada orang yang mengalami depresi atau kecemasan, bukannya didukung tapi malah dibilang “kurang iman” atau “kurang ibadah”. Ini jelas tidak membantu. Kadang dalam hidup, kita mengalami peristiwa yang terlalu berat dan kemampuan kita saat itu belum mencukupi untuk mengatasinya. Peristiwa seperti kehilangan orang yang dicintai, usaha bangkrut, korban kejahatan, terjadi di luar kuasa manusia. Memang Allah tidak memberikan cobaan lebih dari yang bisa ditanggung seorang manusia, tapi bisa jadi pada saat mengalami cobaan itu, si penderita belum memiliki kemampuan atau cukup kedewasaan untuk bisa keluar dari masalahnya. Bisa jadi fase mengatasi cobaan itu berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan bertahun-tahun. Pada fase ini, ibadah dan iman bisa membantu. Dukungan dari orang, yang tidak hanya, terdekat, sangat membantu.

Langkah-langkah memberikan pertolongan pertama pada gangguan jiwa akan dibahas di postingan selanjutnya. Tapi hal paling mudah yang bisa kita lakukan adalah memahami bahwa gangguan jiwa sama dengan penyakit fisik seperti diabetes, jantung, asma, kanker,  migrain, dan influenza. Saat ada orang kecelakaan, kita tidak bilang ke dia agar “jangan cengeng”, “sakitnya hanya imajinasi kamu aja” kan? Tapi langsung kita bawa ke RS. Begitu juga dengan penyakit mental, bisa terjadi pada siapa saja, mereka perlu bantuan, dan ditangani oleh tenaga profesional. Penderitanya memerlukan pertolongan dan dukungan.

mental

 [1] Diterjemahkan dari definisi oleh World Health organisation.

[2] http://www.depkes.go.id/article/print/16100700005/peran-keluarga-dukung-kesehatan-jiwa-masyarakat.html

[3] Mental Health First Aid Manual, 4th ed, Mental Health First Aid Australia

Uncategorized

Teknik Memberikan Umpan Balik yang Efektif

Kali ini saya akan sharing mengenai salah satu workshop yang saya ikut, yaitu: giving effective feedbacks on written and oral assignment. Salah satu teknik yang paling berguna yang didapatkan dari training adalah the kiss-kick-kiss technique.

1. Kiss

Pertama, mulai dengan menyatakan hal-hal positif dari tugas tersebut. Sebagaimanapun buruknya sebuah tugas, pasti ada yang bisa dipuji, seperti untuk presentasi:
– memberikan penjelasan yang baik dengan tutur kata yang jelas dan tempo yang tepat
– bahasa tubuh yang mendukung penjelasan
– kontak mata yang cukup dengan penonton
– penekanan yang efektif untuk bagian-bagian yang penting dll

Untuk tugas tertulis:
– menunjukkan pemahaman yang cukup mengenai materi yang ditanyakan
– menunjukkan pemikiran kritis yang relevan
– penulisan yang rapi, minim dari kesalahan tanda baca dan typo dll

feedback 3

Dengan adanya bagian ini, pembuat tugas akan lebih terbuka menerima masukan di bagian berikut.

2. Kick

Kedua, inilah bagian kita menunjukkan kesalahan-kesalahan yang perlu diperbaiki / areas to work on. Misal, untuk presentasi:

slide presentasi terlalu penuh dengan tulisan
– penuturan yang terlalu cepat
– kurang memberikan perhatian kepada seluruh penonton

Untuk tugas tertulis:
– pemahaman mengenai topik X masih kurang
– analisis mengenai bagian X masih kurang mendalam
– ada banyak grammatical error

Bila terlalu banyak area yang perlu diperbaiki, pilih beberapa bagian yang mendesak untuk diperbaiki.

3. Kiss

Terakhir, memberikan strategi untuk perbaikan. Berdasarkan umpan balik dari bagian kedua, kita menyarankan strategi untuk memperbaikinya. Misal,

– bila ngomong terlalu cepat –> akan lebih baik bila tempo berbicara di awal diperlambat
– ada banyak kesalahan penulisan –> tugas ini akan jadi lebih baik kalau diperiksa kembali sebelum dikumpulkan.

Yang penting untuk diingat dari memberikan feedback adalah
– memberikan umpan balik yang spesifik. Jadi bukannya hanya mengatakan “tugas ini jelek sekali”, alangkah lebih baiknya bila kita menyampaikan kenapa tugas ini dikategorikan jelek.

formative-assessment
– menggunakan kata-kata yang memotivasi/encouraging, bukannya kata yang menjatuhkan.
– fokus pada kesalahan bukan orangnya.

Berikut adalah salah satu contoh umpan balik yang diberikan pada salah satu mata kuliah yang saya pandu.

feedback

Saya pikir ada banyak orang yang alergi terhadap kritik disebabkan karena pengalaman dengan penyampaian umpan balik yang kurang tepat, sehingga terkesan menghujat, menyasar pribadi, atau tidak pernah mengapresiasi hal-hal lain yang positif.

Teknik ini tidak hanya berguna untuk konteks pengajaran di sekolah, tapi juga bisa di rumah dari orang tua ke anak. Misal pada saat anak memecahkan piring, sebagai orang tua kadang kita tergoda untuk berteriak dan memarahi anak. Kecuali anak melakukan dengan sengaja, itu beda lagi. Tapi kalau murni kecelakaan, coba tarik nafas, dan berkata
“Ibu senang Arsyad mau taruh piring sendiri ke tempat cuci piring, tapi lain kali ibu kan lebih senang lagi kalau Arsyad taruhnya sambil jalan, tidak sambil lari” sambil senyum.

Mudah-mudahan bermanfaat.

Uncategorized

Teknik Bicara

Dari kecil saya punya kebiasaan ngomong terlalu cepat. Ini karena apa yang mau saya sampaikan tidak berimbang dengan kecepatan mulut menyampaikan. Ini menyusahkan karena saya jadi harus ngulang ngomong yang sama minimal dua kali.

Sampai suatu ketika, saya lihat iklan workshop dari universitas yang berjudul “how to be a consummate communicator”. Judul yang sangat provokatif karena menggunakan kata consummate yang berarti sempurna tanpa cacat, bukannya menggunakan kata good atau interactive. Datanglah saya ke workshop tersebut.

Di workshop “how to be a consummate communicator” ini, ada berbagai tips dan teknik yang disampaikan tapi satu hal yang paling mengena adalah pertanyaan “who are we doing this for?”. Kita presentasi/ngajar untuk siapa? apakah diri kita sendiri? karena kita INGIN menyampaikan apa yang kita yang ada di pikiran kita? kalau iya, berarti kita menyampaikannya untuk diri kita sendiri. Apakah ingin terlihat mengerti apa yang kita bicarakan sementara saat orang lain tidak mengerti, membuat kita merasa lebih hebat? Padahal itu komunikasi yang gagal. Pada saat kita menyampaikan sesuatu tapi pendengar tidak mengerti, itu kekurangan/kesalahan kita. Kita tidak menyampaikan dengan jelas dan sederhana sehingga pendengar mengerti. You don’t understand it enough if you can’t explain it simple enough. Audience-lah yang lebih penting.

Ada yang disebut 49:51 ratio, yang berarti kita sebagai pembicara hanya berarti/sepenting maksimal 49%, sementara audience berarti/sepenting minimal 51%. Ini berarti dalam setiap presentasi atau wawancara atau kuliah atau basically komunikasi apapun, yang paling penting adalah lawan bicara kita atau kepada siapa kita melakukan presentasi ini. Apa yang kita ingin mereka ketahui, apa who what when where how dari presentasi kita. Apa yang kita ingin mereka ketahui pada saat mereka selesai mendengarkan presentasi kita.

Kalau kita melakukannya untuk diri kita sendiri, selama kita menyampaikan semua yang ingin kita sampaikan, selesai! Tidak peduli pesannya sampai ke audience atau tidak. Tapi kalau kita melakukan presentasi untuk audience, kita akan fokus pada kondisi mereka, sudah seberapa jauh pengetahuan mereka tentang apa yang ingin kita sampaikan, sehingga kita cenderung untuk menyesuaikan dengan level pengetahuan audience. Kita akan menjadi lebih fokus memperbaiki intonasi dan kecepatan bicara kita agar AUDIENCE mengerti apa yang mau kita sampaikan.

I find it very useful. Dalam tutorial yang saya laksanakan setelah mengikuti workshop tersebut, saya jadi lebih fokus pada audience, sehingga saya cenderung untuk berbicara lebih lambat dan menekankan kata-kata penting. Gugup karena akan berbicara di depan umum juga berkurang, karena fokus pada audience, bukan pada diri sendiri.

So, lain kali saat kita perlu melakukan presentasi/wawancara/kuliah atau komunikasi verbal apapun, focus on the audience. You are doing this for them, not for yourself.

presnt

Hope it helps.

Ilmu

Proses mendapatkan surat penerimaan (Letter of Acceptance) untuk PhD di luar negeri

Pada postingan kali ini, saya akan berbagi tentang proses yang saya lalui untuk mendapatkan surat penerimaan (letter of acceptance/LoA) untuk PhD.

Untuk sekolah di luar negeri, pada umumnya menyaratkan kecakapan berbahasa pengantar kuliah dan / atau bahasa setempat. Jadi, walaupun saya belum memutuskan tepatnya mau kuliah dimana, saya sudah memutuskan untuk kuliah di negara dengan bahasa pengantar kuliah dan sehari-hari berbahasa Inggris, sehingga saya mulai mempersiapkan diri untuk ujian ielts. Kenapa ielts? karena waktu itu, sedang ada kisruh tentang malpraktek pelaksanaan toefl di suatu negara sehingga beberapa universitas tidak menerima sertifikat toefl. Jadi amannya saya ambil ielts saja.

Pertimbangan kedua adalah proses mendapatkan sertifikat ielts butuh waktu cukup lama, mulai dari pendaftaran yang mesti jauh2 hari karena seringkali jadwal yang dekat sudah penuh, sampai dengan butuh waktu lebih kurang 13 hari kerja setelah tes untuk mendapatkan hasilnya. Setelah mendaftar tes ielts, saya mempersiapkan diri dengan belajar ielts dari buku dan e-files.

Tahap kedua adalah mencari supervisor. Faktor penting dalam memilih supervisor adalah kepakarannya yang terlihat dari rekam jejak publikasi dan pengalaman membimbing. Saat memilih supervisor, pertama saya menentukan ingin studi di negara mana saja, lalu di universitas apa saja. Kemudian saya melihat siapa saja para akademia di fakultas yang menaungi jurusan yang ingin saya ambil. Saya baca2 profil mereka: bidang keahlian, daftar publikasi, dan jumlah mahasiswa bimbingan. Lalu, saya membuat daftar potential supervisor dan mengirim email kepada mereka. Di email tersebut, saya memperkenalkan diri, menjelaskan maksud email saya, dan menjelaskan kenapa profil beliau cocok dengan bidang yang ingin saya teliti. Setiap email yang saya kirim, saya personalisasi sesuai dengan profil si penerima email, seperti menyebutkan paper2 beliau yang pernah saya baca dan kesan saya tentang paper2 tersebut. Pada email2 ini, saya juga mengirimkan CV dan proposal penelitian. Tidak harus ada proposal, kadang menjelaskan topik apa yang ingin diteliti (dimana harus sesuai dengan kepakaran beliau) sudah cukup.

Total ada belasan calon supervisor yang saya kirimi email. Ada yang membalas, sebagian tidak membalas. Dari yang membalas, ada beberapa yang akhirnya bersedia menjadi menjadi supervisor saya. Tidak usah baper saat seorang calon supervisor tidak membalas email karena mereka orang yang sangat sibuk atau mungkin belum cocok dengan profil kita atau belum ada kuota untuk menambah mahasiswa bimbingan.

Kita juga bisa membaca sekilas karakteristik si calon supervisor dari caranya membalas email serta kesigapan responnya. Bila balasan email datang sehari setelahnya, apalagi pada hari yang sama, maka bisa disimpulkan dia jenis orang yang cepat merespon (atau sedang tidak sibuk saja :D). Ini penting karena bagi mahasiswa PhD, bahagia sedih, susah senang, berhasil gagalnya studi seringkali tidak bergantung kepada kemampuan akademik semata, tapi acapkali juga terkait supervisor. Bila butuh waktu lama bagi beliau utk merespon draft tulisan kita atau progress report kita, maka proses penulisan bisa terkatung-katung. Disamping itu, kata-kata balasannya juga bisa menyiratkan karakteristiknya. Apakah beliau seorang yang ramah, senang membimbing, considerate, tidak suka basa basi dlsb. Ini juga perlu dipertimbangkan agar tidak terjadi benturan personality.

Berikutnya, bila si supervisor sudah bersedia membimbing, maka mulai proses penyiapan dokumen untuk proses pendaftaran ke universitas. Dokumen yang dibutuhkan biasanya ijazah, terjemahan ijazah (bila tidak sama dengan bahasa negara tujuan studi), transkrip nilai dan terjemahannya, proposal penelitian, surat rekomendasi dari dosen (jumlahnya bervariasi dari 1-3), bukti bahwa sudah ada calon supervisor dari universitas tujuan (biasanya berupa screenshot email dari calon supervisor menyatakan beliau bersedia), bukti keuangan (bisa bilang sedang apply beasiswa), dan motivation letter. Lebih lengkapnya silakan lihat website universitas tujuan masing2.

Langkah selanjutnya adalah proses pendaftaran. Saya mendaftar ke 4 universitas, tiga diantaranya mendaftar sendiri online, satu lagi melalui sebuah agen pendidikan. Satu kali pengalaman saya menggunakan agen pendidikan tidak begitu membantu, karena semua dokumen sebenarnya bisa dikirim online. Disamping itu, setelah submission, agen tersebut hanya membantu menanyakan lewat email ke universitas kapan hasilnya bisa keluar kalau saya bertanya saja, yang sebenarnya bisa saya lakukan sendiri langsung. Si agen berdalih bahwa memang universitas yang saya tuju bereputasi lama kalau mengurus LoA. Untuk mempercepat proses keluarnya LoA saya rajin kontak dengan calon supervisor apakah beliau sudah menerima berkas saya, saya juga menghubungi perwakilan universitas tersebut di Indonesia untuk menanyakan kapan hasilnya keluar. Pada saat perwakilan universitas tersebut mengadakan pameran pendidikan, saya datang dan bertemu dengan pihak yang menangani proses admission. Beliau berjanji untuk memfollow up aplikasi saya, apapun hasilnya. Akhirnya setelah 3 bulan, hasilnya keluar juga.

Sedikit masukan dalam pencarian LoA:
– pertimbangkan masak2 dalam pemilihan supervisor. Ada banyak artikel online yang memberi gambaran kriteria pemilihan supervisor, silakan dibaca: ini, atau ini
– persiapkan dokumen jauh2 hari, terutama ielts.
– dapatkan surat rekomendasi yang kuat. Oleh karena itu, sebaiknya minta rekomendasi yang mengenal kita DAN memiliki pendapat yang baik tentang kita.
– bila membawa keluarga, pertimbangkan lokasi yang suportif seperti pendidikan murah/gratis, fasilitas kesehatan yang bagus dan gratis, biaya childcare yang terjangkau atau disubsidi.

Sekian sharing kali ini. Semoga bermanfaat. 🙂

Uncategorized

Kilas Balik tahun 2015

Tahun 2015 hampir berakhir. Saya bukan jenis orang yang suka membuat review tahunan, tapi tahun 2015 sangat spesial sehingga layak mendapat kehormatan untuk di-review.

Menelusuri jalan kenangan di tahun 2015, tidak lengkap rasanya tanpa memasukkan satu kejadian di akhir bulan Desember 2014, yaitu tes IELTS untuk pertama kalinya. Kenapa penting? Karena dengan mengikuti tes IELTS menandakan lebih seriusnya saya dalam mempertimbangkan untuk lanjut sekolah. Mengikuti tes, menandakan meningkatnya level dari sekedar pengen sekolah lagi atau benar-benar konkrit mempersiapkannya.

Memasuki bulan Januari, langkah konkrit berikutnya diambil berupa daftar beasiswa LPDP, tes substansial di bulan Februari, hanya untuk gagal di bulan Maret.

Bulan April adalah bulan beasiswa, karena saya daftar tiga buah beasiswa sekaligus di bulan ini. Beasiswa pertama adalah Stuned dari Neso Nuffic Indonesia. Ini adalah beasiswa kuliah singkat di Belanda. Saya memilih kuliah bisnis di Utrecht untuk menambah pengetahuan saya di bidang bisnis, berhubung ditempatkan di stream Sistem Informasi di kampus.

Beasiswa spacerkedua adalah Fujitsu, berupa training selama 3,5 bulan di 4 negara: Jepang, Hawaii (USA), Thailand, dan Singapura.

Beasiswa ketiga adalah Australia Awards Scholarship (AAS) untuk melanjutkan S3 di Australia.

Bulan Mei adalah bulan kesukaan saya, disamping bulan ultah, juga bulan pengumuman bahwa saya berhasil lulus seleksi beasiswa Stuned dan Fujitsu. Dimulailah proses persiapan belajar ke negeri Kincir Angin. Hal berharga lain yang saya dapatkan, adalah bertambahnya teman-teman baru sesama Stuned Awardee dan pemenang lomba Holland Writing Contest, penulis cakap, Dianita Rizkiani, yang sama-sama mendapat beasiswa Short course di Belanda.

Untuk beasiswa Fujitsu, terpaksa saya tolak, karena berbagai hal :(, mudah-mudahan ada kesempatan lain yang lebih baik.

Bulan Juni adalah bulan pelaksanaan Summer Camp yang saya menjadi ketua panitia untuk ketiga kalinya, setelah dipersiapkan dari bulan Januari. Tahun ini semakin besar dari tahun-tahun sebelumnya dengan jumlah industri dan kegiatan yang semakin banyak dengan jumlah panitia hanya 10 orang.

10983852_965979070100219_2018259983178572418_n

Penyerahan plakat kepada pembicara pada acara Summer Camp

Bulan Juli, saya cuss ke Belanda. setelah menempuh penerbangan panjang 14 jam, akhirnya mendarat di Schiphol. Walaupun menggeret koper besar, saya nekat ke Zansee Schan untuk melihat deretan kincir angin tua yang cantik. Selama dua minggu di Belanda, saya mengunjungi kota-kota seperti Amsterdam, Gouda, Delft, Denhag, Leiden, Wesp, disamping Utrecht. Ini juga pengalaman pertama saya merayakan lebaran di Eropa.

11061194_10153993380982004_2347533979990073724_n

Di Zansee Schan

inilah kali pertama saya menginjakkan kaki di benua Eropa. Saya memang mempunyai cita-cita menginjakkan kaki di kelima benua dan Eropa adalah benua keempat. Mudah-mudahan ada rezeki mengunjungi Afrika.

September, saya diminta jadi moderator sebuah acara yang cukup besar yaitu Compfest, menemani COO Tokopedia dan diminta jadi reviewer di sebuah jurnal, yang saya terima. There is room for improvement of course. Pengalaman berharga bagi saya.

12141756_10154195815332004_4042967736703982160_n

Seminar Compfest

Oktober, saya diajak jadi bagian dari tim konsultan untuk merumuskan IT master plan di UI. Banyak sekali pengalaman teknis maupun nonteknis yang saya pelajari dari kesempatan ini. Mulai dari bagaimana mengekstrak critical Success factor dalam membuat blueprint, hingga aspek berhubungan dengan orang lain seperti bagaimana menjadi pemimpin yang meng-encourage timnya, dan untuk menjadi pemimpin yang baik, kita harus ahli dulu di segi teknisnya agar bisa mengarahkan tim. Proyek ini berlangsung sampai bulan Desember

Bulan Oktober juga saya mencoba kembali peruntungan dengan mendaftar LPDP. Seleksi administratif yang lebih ketat yang menyaratkan surat keterangan sehat, bebas narkoba, dan bebas tbc dari RS pemerintah. Lulus seleksi administratif, masuk seleksi substansial di bulan November. LPDP terus berbenah dengan terus mengetatkan proses seleksinya. Di fase seleksi subtansial yang saya hadapi ada 4 tahap, yaitu verifikasi berkas (ada berkas tambahan: SKCK yang masih berlaku), leaderless group discussion, wawancara dengan 3 org interviewer, dan yang baru yaitu on the spot essay writing.

Bulan Desember menutup tahun ini dengan sukacita berupa kabar lulusnya saya sebagai salah satu penerima beasiswa LPDP. Di bulan ini, juga dipercaya menjadi salah satu juri lomba Business IT case for Fasilkomers. Kinda fun.

12366375_10154342346162004_1802171645993194287_n

Bersama tim juri dan peserta Business IT Case Competition

Seperti hidup yang tidak hanya berisi senang, juga ada sedih. Begitu juga tahun 2015. Namun, rugi sekali kalau tidak mengambil pelajaran dari kegagalan dan kesedihan. Pelajaran yang saya dapatkan tahun ini adalah:

1. Zona nyaman membunuh kreativitas dan peluang untuk berkembang.
2. Perlakuan buruk orang lain, walaupun menyakitkan, bisa berarti bahwa, kita harus menjadi lebih humble, lebih rendah hati. Itu adalah cara dari Allah untuk mengikis kesombongan kita, agar menjadi lebih dewasa.

3. kurangi baper alias bawa perasaan. Baper sering terjadi karena kita terlalu fokus pada diri sendiri atau self centered. Saat menghadapi rekan kerja misalnya, tidak perlu baper, selesai saja pekerjaanmu dengan profesional. Jangan hiraukan perasaan tidak nyaman dengan seseorang, atau pendapat orang lain tentang dirimu, simply finish works at hand.

4. Saat kita belum berhasil mendapatkan sesuatu, berarti kita belum siap mendapatkannya. Saya bersyukur gagal beasiswa LPDP di bulan Januari. Bila berhasil, mungkin tahun ini tidak akan penuh pengalaman berharga seperti sekarang.

5. Sebagian besar orang hanya peduli pada kebahagian mereka masing-masing. Tidak ada orang lain yang bertanggungjawab untuk membuat kita bahagia. Jadi kitalah yang bertanggungjawab terhadap kebahagiaan kita sendiri. Berharap pada manusia hanya akan membuat kecewa.

Suara petasan dan kembang api sudah banyak terdengar. Berakhirlah tahun penuh kejutan ini. Tahun 2016, saya prediksi, tidak akan kalah dalam hal menyimpan kejutan. Kita lihat saja. 🙂

Uncategorized

Suatu Saat Nanti

Ada suatu potongan cerita dalam novel fiksi yang saya baca waktu muda dulu. Ceritanya tentang seorang ibu yang melihat putra remajanya termenung memandang bulan, seorang diri, pada malam hari nan sendu, di ayunan berkarat di samping rumahnya. Sambil berpura-pura mengecek apakah rumput sudah disiram, sang ibu menghampiri putranya.

Ibu: “Ibu lihat kamu lesu sekali sejak makan malam tadi. Apa yang sedang mengganggu pikiranmu?”

Si anak diam saja. Tangannya menelusuri tulisan namanya yang dia buat di tiang ayunan. Tulisan yang dibuatnya saat baru saja pandai menulis dan merayakan euphoria tersebut dengan menulis dimana-mana.

Ibu: “Hhh… akhirnya datang juga saat itu, saat-saat dimana ibu sudah menjadi terlalu tua sebagai tempatmu bercerita”

Si anak memandang ibunya, mulutnya bergerak-gerak seperti ikan mas koki direnggut dari air. Namun, tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya.

Ibu: “Baiklah, ibu mengerti, kamu sedang ingin sendirian, bukan? Kamu tahu dimana mencari ibu kalau kamu ingin bercerita, tentang apapun itu”. Sambil mengacak rambut putranya dengan sayang, si Ibu berlalu, tidak sebelum menyampirkan sehelai kain di punggung putranya.

Saya dan semua orang dewasa pasti pernah mengalami menjadi remaja. Masa-masa ingin menunjukkan keakuan, masa ingin diakui, masa ingin mandiri, ingin jauh dari orang tua. Sekarang saya bukan anak kecil lagi. Saya tidak lagi ingin dikekang, dilarang, dan diperlakukan selayaknya anak kecil. Saya punya kemampuan dan sangat gatal untuk menjajalnya. Saat ini, remaja lebih percaya pada temannya, lebih peduli pada penerimaan temannya, lebih butuh gengnya. Selain memberi uang saku dan memenuhi kebutuhan pokok, remaja tidak butuh orang tuanya. Mereka punya dunia sendiri. Itulah saya saat remaja.

Namun, menjadi orang tua dari anak remaja, hmmm… belum pernah. Anak saya baru akan berumur 3 tahun saat ini. Masih sangat bergantung dan suka sekali bermanja-manja pada saya. Kadang, terlalu bergantung. Secara harfiah, benar-benar bergantung, terutama di tempat umum, atau saat masak atau terutama sekali saat saya memegang telepon genggam, anak minta digendong. Sambil menggendong anak, mata membandingkan harga dan netto di rak, tangan mencari-cari varian produk yang disukai anak, sementara jilbab ditarik-tarik, tak saya pedulikan jilbab yang miring kesana kemari, tidak ada waktu untuk itu.

Itu belum seberapa, karena belanja adalah kegiatan yang menyenangkan dan (hampir) tidak ada tekanan. Lain lagi ceritanya saat saya masih kuliah S2. Batas akhir penyerahan tugas adalah tengah malam, lewat daripada itu, tidak diterima lagi. 15 menit menjelang batas akhir pengumpulan saya masih mengerjakan tugas online yang rumit tersebut, anak bangun dari tidurnya. Ayahnya berusaha menenangkan anak, anak terus menangis  memanggil ibunya. Ayah menggendong anak dan sambil menyanyikan lagu, tangis anak semakin kencang. Karena takut ditimpuki oleh tetangga, anak diletakkan di pangkuan saya, namun masih tetap belum sepenuhnya tenang, sementara batas akhir pengumpulan tugas 2 menit lagi. Anak mengacak-acak keyboard saya, saya kalut meng-zip tugas yang belum kelar tersebut dan mengirimnya. Saat proses upload dijalankan, saya harap-harap cemas, menatap countdown di situs tersebut. Apakah tugas yang saya kerjakan berhari-hari ini bisa terkirim, sebelum link pengumpulan diblokir? Suasananya bisa disandingkan dengan adegan seorang aktor sedang memilih kabel mana yang harus dipotong untuk menghentikan bom, kuning atau hijau? Sementara, waktu tersisa tinggal 10 detik lagi, sebelum bom nuklir tersebut meledak dan menimbulkan korban jiwa yang jumlahnya setara dengan korban penyakit Pes di Eropa Abad Pertengahan.   Ok, mungkin agak berlebihan, tapi kamu pasti mengerti apa maksudku kan?

Lain lagi, ceritanya saat anak sakit dan dirawat di rumah sakit. Saya dan ayahnya menginap di RS dan bolak-balik kantor-RS selama anak dirawat. Selama anak dirawat, di tangannya diperban sebagai tempat lewat cairan infus. Mungkin tangannya berdenyut-denyut, sehingga anak terus meminta saya untuk meniup tangannya, sambil menangis, sampai dia tertidur. Kalau saya berhenti meniup tangannya, dia akan terbangun, menangis, dan minta ditiup lagi. Setiap saat, selama di rumah sakit.

Dunia berputar 180 derajat sejak anak lahir. Kurang waktu tidur, kurang waktu untuk diri sendiri, semuanya berputar di sekeliling anak. Semuanya demi anak. Sepanjang hari untuk anak. Kadang sebagai ibu, saya merasa lelah. Sebagai anak yang ditinggal ibunda sejak kecil, saya terbiasa melakukan segala sesuatu sendiri. Saya terbiasa untuk mengandalkan diri sendiri. Itu yang adang saya harap anak bisa pelajari dan terapkan. Untuk mandiri dan mengandalkan diri sendiri. Tidak terlalu bergantung pada saya.

Saya berharap agar anak cepat mandiri. “Karena satu-satunya orang yang akan selalu ada untukmu, adalah dirimu sendiri, bohong kalau ada yang bilang bahwa dia akan selalu ada untukmu. Tidak ada, karena semua orang punya kehidupannya sendiri, begitu juga orang tuamu,” batin saya, sembari menepuk-nepuk punggung anak yang terbangun agar dia tidur lagi. Di luar kamar, terdengar suami sedang berbicara di telpon. Saya tajamkan telinga, oh sedang menelpon orang tuanya. Ayah mertua saya memang berulang tahun hari ini dan suami sedang mengucapkan selamat via telepon.

Saya membayangkan keadaan mertua saya, tinggal bertiga bersama anak bungsu yang sibuk dengan kuliah dan kerja sambilan. Pasti sepi sekali, tinggal berdua saja bersama pasangan, tanpa anak tempat mencurahkan kasih sayang. Sebuah kesadaran menghantam saya. Jika umur sampai, akan tiba pula saatnya bagi saya dan suami untuk tinggal berdua saja, tanpa anak-anak. Mereka akan punya pekerjaan, kehidupan, dan keluarga sendiri. Saat dimana mereka tidak membutuhkan kami lagi. Saat-saat menatap melalui jendela dan berharap anak-anak datang membawa cucu yang lucu, untuk kemudian menyadari itu adalah suara mobil tetangga atau penjual remote TV yang sering lewat siang hari. Kami hanya tinggal berdua. Saya akan merajut, suami akan membaca sambil mengeluhkan encok di pinggangnya. Saya juga akan mengurus kebun kecil di depan rumah, sementara suami mengecat pagar dan mengeluhkan encok di pinggangnya. Setelah itu, saya akan mengerjakan pekerjaan lain sampai tidak ada lagi yang bisa dikerjakan sementara suami berbaring di ranjangnya setelah seharian mengeluhkan encok di pinggangnya. Di penhujung hari, kami akan membuka album foto dan menatap gambar anak-anak kami sambil mengenang mereka merengek, meminta digendong, dipeluk, dibersihkan setelah buang air. Membayangkan wajah mereka saat menyambut kami pulang kerja, wajah serius mereka saat mendengarkan cerita dongeng sebelum tidur (walaupun cerita itu tidak akan bisa lebih tidak masuk akal lagi. Saya pernah bercerita tentang anak tetangga yang menemukan lubang ke luar angkasa dan menyelamatkan koloni Yeerk di planet Helgrind bersenjatakan alat pembersih toilet). Membayangkan saat mereka jatuh ke pelukan kami ketika belajar berjalan. Saat mereka menari diiringi musik. Mengingat suara cadelnya saat bernegosiasi dengan ayahnya agar diperbolehkan makan kerupuk padahal sedang batuk. Saat kata paling sering yang dia sebutkan dalam sehari adalah “Ummi… Ibu..”

Dan sayapun memeluk anak, erat sekali.

kucing

 

Sumber gambar

 

renungan

Life is Not Fair, Really?

Apakah kamu pernah baca artikel tentang Elven Rule of Life yang ditulis oleh Bill Gates? Terlepas dari berita simpang siur tentang author sebenarnya dari rule tersebut, well those rules are coolRule pertama adalah “Life is not fair, get used to it”.

Unfair

Apakah ada saat-saat dalam hidup, kamu mempertanyakan jalan hidupmu? Menyesali kenapa aku melakukan
ini, kenapa bukan itu? Kenapa orang lain bisa seperti itu, sementara aku tidak? Kenapa begini, kenapa begitu? Bila merujuk pada rule pertama itu, kita harus menerima bahwa hidup MEMANG tidak adil, tidak ada yang bisa kita lakukan selain menerimanya dan melanjutkan hidup.

Ternyata, ada cara yang lebih indah, dan (meminjam istilah Mario Teguh) anggun untuk memaknai hal
ini. Islam punya istilah yang lebih tepat untuk itu. Ridho.

Menurut wikipedia, ridho berarti perasaan puas yang sempurna terhadap keinginan dan perintah Tuhan. Ambil contoh para sahabat Rasul. Ada Abu Bakar, Utsman bin Affan, dan Abdurrahman bin Auf yang luar biasa kaya. Ada Umar bin Khattab yang kuat. Ada Aisyah yang cerdas, hafal ratusan hadits. Dan ada Bilal, seorang budak hitam asal Habsyi.

Menurut saya, perbudakan adalah hal yang amat sangat kejam. Bayangkan kamu diculik dari kampungmu, dijual (uangnya buat si penculik lagi!!), dan disuruh kerja tanpa upah. Kadang dipukuli, bahkan mungkin lebih kejam daripada itu. Orang yang merasakannya, lebih dari berhak untuk mempertanyakan kenapa saya dijadikan budak? Apakah tuhan tidak sayang pada saya? Bilal memberikan teladan dalam hal ini. Bilal, seorang budak hitam, dijamin masuk surga, bersama dengan Abu Bakar yang menginfakkan SELURUH hartanya dan membersamai Nabi dari awal dakwah Islam.

Apa hikmah yang bisa kita ambil? Bilal ridho dengan posisinya dan meng-utilisasi maksimal posisinya. Pada posisinya sebagai budak yang tidak punya uang, tentu dia tidak bisa berinfak, maka dia harus mencari amalan lain, amalan yang bisa dijadikan amalan unggulannya. Apa itu? Dengan menjaga wudhu, seumur hidupnya. Dan Nabipun mendengar suara sendalnya di surga.

Begitulah, casing/peran dunia tidak membuatnya minder, kerdil. Peran/pekerjaan sekarang adalah kehendak Allah, Bilal berpikir bahwa hendaknya dia ridho dan bersyukur. Semua ini sudah ditata oleh Allah, tinggal saya mengambil yang terbaik dari setiap keadaan. Setiap orang punya peran sendiri, baik besar maupun kecil, bila ditunaikan dengan baik, diganjar dengan pahala. Bilal tidak berkata “ntar deh, kalau saya udah kaya, saya akan infak.” Dia mulai saat ini, dengan apa yang dia punya.

Apa yang kita punya? Bakat dan kemampuan yang diberikan Allah merupakan modal yang lebih dari cukup. Sekecil apapun pasti ada yang bisa kita lakukan. Para sahabat Nabi dengan latar belakang dan kemampuan yang beraneka ragam adalah teladan yang baik dalam berbuat baik. Sebagai wanita, kita bisa mencontoh Siti Hajar yang berjuang sendiri untuk anaknya saat ditinggalkan suami di lembah tandus tanpa apapun untuk dimakan dan tempat berlindung. Ummu Umarah/ Nusaibah binti Ka’ab, muslimah kuat yang menjadi pelindung nabi dalam perang ( Oh, I love her, she is my heroinne). Siti Khadijah seorang pedagang sukses yang membuka banyak lowongan kerja. Dan banyak lagi yang lain.

Saya sering banget menemukan di media sosial ayat terkenal dari surat Ar Rahman ini “Maka nikmat manakah yang kamu dustakan?” diiringi dengan kalimat Alhamdulillah, mengindikasikan orang tersebut sedang mendapat nikmat. Well, there is more than that. Di yaumul hisab, kita kan diminta pertanggungjawabannya, saat kita diciptakan sebagai manusia, sebagai muslim/ah, apa yang telah kita lakukan untuk mencapai ridho Allah? Kita diberi banyak sekali nikmat dan kemampuan, mana yang tidak kita gunakan secara maksimal untuk mencapai ridho Allah. Mana yang kita dustakan? Menyia-nyiakan segenap kemampuan dan nikmat yang diberikan Allah tanpa timbal balik untuk berbuat baik adalah suatu bentuk pendustaan terhadap nikmat Allah.

Hal buruk terjadi dan akan selalu terjadi, untuk menguji apakah kita ridho dengan kehendak Allah. Tidak mungkin Allah memberikan takdir yang buruk, yang buruk adalah prasangka manusia. Jangan berpikir bahwa kalo jabatan/pekerjaan saya baik maka rezeki saya juga baik. Tapi hendaklah bekerja dengan sunnatullah: bekerja baik dan bertanggung jawab, apapun pekerjaan kita. Lalu insya Allah, rezeki kita akan dicukupkan, sehingga kita tidak akan takabur dengan jabatan dan menghalalkan segala cara.

“While you are hating your life because you can’t get what you want, someone is wishing to have a
life like yours” – Ustadh Nouman Ali Khan

~sumber gambar: sini

 

Uncategorized

Selayang Pandang Fremantle

Fremantle. Kata Fremantle mengingatkan saya pada closing segmen suatu acara di TV, Fremantle Media. Acaranya apa, lupa, sejenis idol2an kali. Usut punya usut, ternyata Fremantle itu nama kota pelabuhan di Australia Barat, yang sempet saya singgahi akhir November lalu.

Web ttg Fremantle menggambarkan betapa serunya Fremantle:

“Fremantle provides a unique opportunity for visitors to experience and enjoy a range of cultural activities in a relaxed atmosphere. A browse through the markets or leisurely stop at one of the numerous cafes and restaurants will complement your exploration of the arts, making a visit to Fremantle a rich and rewarding experience. ”

Sounds fun. Itulah sebabnya walo acaranya di pusat kota Perth, saya pilih hotel di Fremantle, karena banyak objek wisata.

Ternyata, Fremantle itu sepi sodara2.. mulai rame jam 9 pagi, jam 5 sore udah sepi, sementara di musim semi, matahari terbenam jam 7 sore. Kebayang donk jam 5 udah pada sepi padahal masih terang. Jam 5 saya jalan2 sama temen2 keliling Fremantle, membatin: ini orang2 pada kemanaa… jalanan sepi, rumah kaya ga ada penghuninya, ga ada suara TV dari rumah2 yang saya lewati.. Hiii.. jadi ceyem.

Setiap malam, saya mengharuskan udah sampe di hotel jam 8 malam, yang beberapa kali dilanggar karena salah naik bus -_-“. Kalau naik kereta atau berhenti di pemberhentian terakhir bis dari pusat kota Perth, harus jalan dari stasiun Fremantle ke Hotel. Jaraknya  sekitar sekilo lah. Nah di jalan pulang itu, di atas jam 8, banyak orang mabuk. Waktu itu saya jalan sendiri, dan di depan saya ada orang mabuk. Saya ketakutan setengah mati, sampai baca ayat kursi. Ga pernah liat orang mabuk alkohol sebelumnya, kalo mabuk perjalanan sih sering liat dan ngalamin. mabuk cinta? mabuk duit? mabuk kekuasaan? halah jadi panjang.

Intinya pada hari kerja, jauhi jalanan Fremantle di atas jam 8 malam, kalau ga mau cari masalah.

Anyhow, Fremantle punya beberapa hal yang melipur lara saya. Ada pantai dan restoran di pinggir pantai, jadi kita bisa makan sambil menikmati angin pantai dan suara deburan ombak. Ada Fremantle Prison, sesuai dengan namanya tempat nyimpen tahanan. Pada masanya, penjara ini punya pengamanan super ketat dan banyak alat penyiksaan. Bagi penggemar horor, bisa menikmati torch light tour, yang diadakan malam hari di fremantle prison. Me? No thank you. ~senyum monalisa

Bagi penikmat arsitektur, ada banyak gedung2 bergaya klasik yang bisa diobservasi. Bagi para pecinta fotografi, silakan puas2in untuk foto di depan gedung2 tersebut.

Berhubung Fremantle adalah kota pelabuhan dan biasanya di kota manapun terutama negara barat, museum adalah tempat wajib kunjung, tentu saja ada museum ttg maritim disini, namanya Maritime Museum. Museum ini berisi berbagai jenis model kapal, perlengkapan melaut, meriam, dan cerita tentang awal mula kedatangan bangsa Inggris di Fremantle. Harga tiket masuk kalo ga salah AUD 10, tapi kalo masuk di setengah jam terakhir, ga bayar (berdasarkan pengalaman pribadi 😀 )

Lalu ada round house, bangunan tertua di Australia Barat. Yang pernah digunakan untuk penjara. Sekarang dijadikan museum.

Lalu ada eshed market, tempat belanja barang yang katanya murah2.. Tapi sayang waktu saya kesana udah tutup huhu.

Salah satu daya tarik utama Fremantle adalah Fremantle market yang buka Jumat, Sabtu, Minggu. Fremantle Market adalah pasar di dalam gedung yang menjual berbagai kerajinan khas australia, kaos, makanan dll.

Itu tentang objek wisata. Gimana tentang makanan. Ada banyak variasi makanan di Capucino strip, sejenis kafe pinggir jalan dengan payung2, jadi berasa kaya di Paris (kaya pernah kesana aja :p )

Transportasi dari Fremantle ke Pusat Kota Perth paling cepet naik kereta, sekitar 30 menit. Kalau naik bus minimal 45-50 menit. Saya pernah naik bus dari Perth ke Fremantle, butuh waktu 1.5 jam, ga pake macet, cuma dia berhenti2 di stasiun2 tertentu.

Udah sih gitu aja, cerita tentang Fremantle kali ini. Post berikutnya saya berencana untuk nulis ttg Perth. Enjoy. 😀